29/09/16

Satu Namun Banyak

Menyejukkan dikala ia datang secara teratur dan dengan tenangya. Sangat dinantikan jika ia tak hadir dan menguap diterjang panas. Mematikan saat kemarahannya memuncak dan amukan maha dasyat yang acapkali meminta tumbal.
Biarlah ia datang disaatnya dan jangan halangi jika memang waktunya untuk hadir membasahi sekeliling. Tak usah dicari dan paksa jika memang ia tak ingin menampakkan dirinya.
Hanya sang penguasa alam lah yang berhak atas dirinya. Hanya penguasa semesta lah yang mempunyai kuasa atasnya hingga tak satupun darinya yang akan ingkar pada titah sang abadi.
Rindukanlah jika memang ia datang dengan sejuknya dan hadapilah kemurkaannya atas salah diri yang tak bersyukur. Hujan adalah teman dalam tenangnya dan mematikan jika hujan menyerang dengan milyaran tetesannya.
                                                                                     -dia-

DIA

Dia mewakili dalam setiap makna, ada dalam semua kisah, terselip di banyak cerita, terukir dalam banyak kenangan. Dia selalu menemukan tempat sendiri dalam berbagai hal dan di setiap waktu.
Tak seperti aku yang akan menjadi Dia, atau kamu yang akan menjadi Dia dan mereka yang berakhir pada Dia. Dia akan tetap ada dalam keadaan apapun, dan akan selalu ditempatkan untuk ada di setiap suasana.
Dia bukan sebuah tunjuk yang kau layangkan, Dia bukan hal yang dapat kau pindahkan dan Dia tidak akan menari dalam waktu karna Dia adalah waktu itu sendiri. Dia tak dapat dipungkiri, dalam kita akan selalu ada Dia. Dia tak dapat diingkari, karna dalam setiap nafas selalu ada Dia.
Kau tak akan pernah bisa berlari dan menjauh dari Dia.
                                            -dia-

21/09/16

Indahku Dalam Kabut

Diatas tebing rindu, berselimut kabut dan bertahtakan pemandangan kenangan dan nyatamu dibawahnya. Biarlah alam membawa miliknya kemanapun ia suka. Biarlah hujan membasuh air mata hingga menetes bersamanya. Biarlah angin menerbangkan rindu keseluruh penjurunya. Dan biarlah kabut mengaburkan bayanganmu dari tebingku.
Dalam ketidakberdayaan dan keterpaksaan rasa dalam nyata. Kau tempatkan nurani dalam lorong waktu. Menunggu celah tuk berbagi, walau tusukan demi tusukan dalam setiap pelukan. Kasih yang terasa menyiksa, cinta yang tak kunjung mereda, membuat badai berkabut mengaburkan semua nyata dalam bayang, mencuri setiap kisah dan memanipulasi mimpi menjadi nyata.
Keindahan dalam kabut biru yang menyenangkan, menenggelamkan hingga kelubang tak berdasar. Menghanyutkan logika menjadi keegoisan yang merajai.
Berikan petamu padaku, hingga jelas terlihat keindahan dibalik kabut kasihmu. Buang semua fana dalam nyata. Berbagilah dengan kenangan lama, uabhlah alurnya hingga menjadi normal dan adil tuk semua.
Kau... selesaikanlah kesalahpahaman rasa itu, hingga ada tempat untukku turun dari kabut rindu dan memiliki indahmu seutuhnya.

Waktu Yang Menari

Dalam garis yang hilang, ditengah kegersangan kepercayaan dan tandusnya kasih dalam jiwa. Waktu kembali menuntunku padamu, kembali menghangatkan kisah yang pernah ada. Disetiap titik ingatku hanya kembali pada waktunya dan perasaanku menari bersamanya. Mengikuti irama setiap kisahnya, mengiringi setiap syair dukanya dan berharap dapat menyanyikan hingga nada terakhirnya.
Pencipta lagu takdir yang berkuasa atas kita, menuliskan indah penuh makna kekal abadi menjadi rahasia hati. Wahai penguasa waktu, lelahku menari dengan sang waktu, menanti di tepian tebing sambil menikmati indahmu dari sisiku. Berapa lamakah waktu yang kupunya, menanti dalam kebisuan dan berharap dalam ketiadaan.
Kekuatan kesetian membuatku mampu memanjat tebing waktu, menuntunku hingga tepiannya dan menempatkanku dan kerinduan. Tak ada yang salah dengannya, bukan kau yang menciptakannya. Tebing itu telah ada dan rasaku memaksaku hingga kesana mendakinya dan dengan genggamanmu aku menanti.
Cinta tidak pernah meminta keadilan, sayang tidak meminta pengorbanan, kisah itu telah lama mati. Haruskah aku mempererat genggamanku saat kamu memeluknya. Haruskan aku berjunga sekali lagi disaat ragamu bersamanya. Cinta tidak meminta normalnya, kasih telah mengalahkan kebiasaannya.
Kau yang selalu menginginkan keadilan, ciptakanlah keadilanmu sendiri atau tunggulah hingga yang Kuasa memberikan keadilannya padamu. Keadilan hakiki yang lembut lagi penuh kasih. Dan untukku yang menatap di tepian tebing, keadilan tak pernah menampakkan dirinya dihadapanku.
Kau yang selalu menginginkan Normal, buatlah peluang untuk normalmu. Sudut pandangmu, kebiasaanmu, hati dan fikiranmu adalah normal bagimu. Dan bagiku yang kau tempatkan ditepian jurang. Tak pernah mengenal normal dalam kisahku, karna menikmati dalam kerinduan dari sisiku.
Adilkah untukku??
Normalkah itu bagimu??
Selesaikanlah kisahmu, akhirilah nadamu, tutuplah ceritamu. Hingga tiba saatnya bagimu mengurai jalanku dan melukis takdirku. Hingga saatnya nanti aku akan menanti ditepian dengan sudutku.
Berapa lamakah waktu akan menari bersamaku?